Pendahuluan
Tanaman pisang merupakan salah satu komoditas prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dikembangkan. Pisang adalah buah yang paling banyak diproduksi di Indonesia. Saat ini pisang menempati urutan pertama dalam konsumsi buah nasional. Tingginya tingkat produksi dan konsumsi menyebabkan pisang menjadi komoditas yang sangat potensial dalam menunjang ketahanan pangan melalui pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan masyarakat. Pisang juga potensial sebagai komoditas ekspor, dimana hingga tahun 2001 menempati urutan pertama dalam ekspor buah nasional.
Pengembangan pisang di Indonesia menghadapi tantangan berupa serangan penyakit darah yang disebabkan oleh Blood Disease Bacteria (BDB). Sequira (1998) mengemukakan bahwa dalam pengembangan tanaman pisang, bahaya penyakit layu bakteri diperkirakan lebih besar dibandingkan dengan penyakit pisang lainnya misalnya penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense atupun penyakit sigatoka yang disebabkan oleh Mycosphaerella spp. Hal itu disebabkan oleh: (a) semua tanaman pisang yang dibudidayakan (triploid) saat ini rentan terhadap patogen tersebut, sumber-sumber ketahanan yang ada pada tanaman pisang tipe liar (diploid) sangat terbatas, (b) tingginya potensi penularan oleh serangga vektor dan (c) cara pengendalianya relatif mahal serta hanya dapat diimplementasikan dalam areal kerja sama yang cukup luas.
Serangan penyakit darah pada tanaman pisang semakin tinggi setiap tahunnya. Pada tahun 1991, secara nasional serangan penyakit ini diperkirakan mencapai 36%. Pada tahun 1993, serangan penyakit darah diperkirakan mencapai lebih dari 2 juta rumpun atau sekitar 64%. Jumlah tanaman pisang yang terserang BDB di Indonesia pada tahun 2004 mencapai 2.116.829 rumpun.
Penyebaran Peyakit Darah di Indonesia
Penyakit darah sudah lama dikenal di Indonesia. Penyakit tersebut pertama kali mewabah tahun 1910 di Pulau Selayar (Sulawesi Selatan). Beberapa tahun kemudian, penyakit darah sudah meluas hampir ke seluruh Sulawesi Selatan sehingga sejak tahun 1921 dengan Lembaran Negara Nomor 532 pemerintah melarang pengangkutan tanaman atau bagian-bagian tanaman pisang dari Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya ke wilayah lain untuk mencegah penyebaran penyakit darah.
Sejak diberlakukannya karantina tahun 1921, tidak pernah dilaporkan adanya serangan penyakit darah pada pisang. Laporan pertama serangan penyakit ini terjadi kembali pada tahun 1987 di daerah Jonggol, Bogor - Jawa Barat. Di daerah Bogor dan sekitarnya, penduduk setempat menamakan penyakit tersebut dengan nama penyakit ‘muntaber’. Pada tahun yang sama penyakit darah ternyata telah tersebar ke seluruh pulau Jawa mulai dari Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penyakit darah terdeteksi di Lampung pada tahun 1993 dan di beberapa sentra produksi pisang lainnya di Sumatera. Pada tahun 2001, penyakit darah telah menyebar ke Pulau Sumbawa, Lombok dan Bali. Pada tahun berikutnya dilaporkan hampir menyebar ke seluruh wilayah Indonesia meliputi Pulau Kalimantan Barat, Kepulauan Maluku dan Irian Jaya. Penyakit darah kembali dilaporkan mewabah di Kalimantan dalam lima tahun terakhir ini.
Penyebaran penyakit darah pada pisang di Idonesia dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Penyebaran penyakit darah di Indonesia : Medan – Sumatera Utara, Solok – Sumatera Barat, dan Lampung (1993); Jawa Tengah (1988); Jawa Timur (1997); Bali (1995); Lombok dan Sumbawa (1999); Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan (1920); Maluku, Irian Jaya, dan Kalimantan.
Gejala Serangan
BDB dapat menyebabkan kematian tanaman dan kegagalan panen. Gejala penyakit ini mirip dengan penyakit lain pada pisang yaitu penyakit Moko di Amerika Tengah dan Selatan dan penyakit Bugtok atau Tapurok di Filipina yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum ras 2.
Gejala serangan bervariasi tergantung pada tingkat perkembangan tanaman saat terinfeksi. Gejala BDB dapat diketahui dari luar dan gejala dalam. Secara umum, penyakit ini menyebabkan daun menguning yang dimulai dari tepi daun tua. Tangkai daun sering patah dan menggantung pada pangkalnya. Daun kemudian menjadi nekrosis (Gambar 2). Daun muda yang baru muncul akan berwarna pucat, nekrotik dan mengering.
Bila batang pisang yang terserang dipotong, pada permukaan bidang potongan keluar lendir (ooze) bakteri yang berwarna kemerahan menyerupai darah, sehingga penyakit ini disebut ‘penyakit darah’. Pada jaringan pembuluh, terlihat bercak-bercak berwarna coklat kemerahan (discoloration) yang merupakan gejala khas penyakit ini. Discoloration juga sering muncul pada bonggol dan anakan.
Gambar 2. Gejala serangan BDB pada daun (kiri) dan buah pisang (kanan)
Bunga jantan bisa menjadi keriput. Buah dari tanaman yang terserang BDB menjadi hitam pada ujungnya atau matang sebelum waktunya. Namun buah juga sering tidak menunjukkan gelaja dari luar. Buah tetap berwarna hijau segar, tetapi bila buah dipotong daging buahnya akan mengeluarkan lendir (ooze) bakteri yang berwarna coklat kemerahan menyerupai darah seperti gejala pada batang (Gambar 1).
Kisaran Inang
Skrining ketahan varietas pisang terhadap BDB telah dilakukan oleh Hanudin dkk di Bogor dan Sudana dkk di Bali. Hasil pengujian menunjukkan bahwa hampir semua varietas pisang yang ada rentan terhadap BDB. Beberapa varietas menunjukkan sifat agak tahan terhadap BDB (Tabel 1) yang ditunjukkan oleh relatif rendahnya tingkat keparahan penyakit.
Tabel 1. Pengujian tingkat ketahanan varietas pisang terhadap BDB
Varietas rentan | Varietas “tahan” |
Ambon Lumut, Ambon Jepang, Ambon Putih, Ampyang, Badak, Bangkahulu, Barangan, Emas, Embe, Jambe, Jimbluk, Kepok (Saba), Lilin, Nangka, Raja Sere, Seribu, Siman, Sogit, Siam, Tanduk | Batu (Klutuk), Bancan, Bunting, Bojong, Dak Nangka, Kayu, Ketip, Marga, Kepet, Muli, Papan, Rempeneng, Susu Ketan, Susu, Plepeden, Telur, Udang |
Sejalan dengan penelitian Hanudin dan Sudana, penelitian yang dilakukan oleh INIBAP, Nasution, Pasberg-Gauhl dan Lehmann-Danzinger menunjukkan bahwa tidak ada tanaman pisang yang tahan terhadap BDB. Beberapa varietas pisang memiliki respon yang berbeda terhadap BDB dilihat dari waktu yang diperlukan mulai dari inkubasi sampai muncul gejala layu pertama dan seluruh daun nekrosis (Tabel 2).
Hasil survei Muharam et al. (1992) menunjukkan bahwa di Jawa Barat, Pisang Ambon Putih paling rentan terhadap penyakit darah sedangkan di Sulawesi Selatan, Pisang Kepok paling umum dijumpai terserang. Hasil pengamatan Rustam tahun 2002 di Kabupaten Indragiri Hulu Riau dan tahun 2003/2004 di beberapa daerah pertanaman pisang di Bogor menunjukkan bahwa pisang kepok juga paling umum terserang penyebab penyakit darah.
Tabel 2.Respon beberapa varietas pisang terhadap BDB
Type | Genom | Spesies/cultivar | Lamanya waktu (hari) yang diperlukan mulai dari inkubasi sampai | Reaction |
muncul gejala layu pertama | seluruh daun nekrosis |
Wild Banana | | M. ornata | 9 | 14 | S |
| M. acuminata var . bantamensis | 10 | 16 | S |
(BB) | M. balbisiana | 8 | 16 | S |
| M. acuminata var nakii | 10 | 17 | S |
| M. salaciensis | 9 | 16 | S |
(AB) | Ney poovan | 10 | 21 | S |
Dessert Banana | (AA) | Pisang mas | 9 | 18 | S |
(AA) | Pisang bawang | 10 | 22 | S |
(AAA) | Pisang ambon | 10 | 24 | S |
(AAA) | Gran nain | 12 | 23 | S |
(AAA) | Petit nain | 11 | 23 | S |
(AAA) | Valery | 11 | 20 | S |
(AAA) | Gros michael | 12 | 24 | S |
(AAA) | Pisang susu | 13 | 21 | S |
(AAA) | Pisang langsat | 13 | 22 | S |
(AAAA) | IC2 | 15 | 27 | S |
Plantain | (AAB) | Pisang raja | 14 | 25 | S |
(AAB) | Pisang sutera | 14 | 26 | S |
(AAB) | Laknau | 11 | 24 | S |
(AAB) | Curare | 10 | 24 | S |
(ABB) | Chato | 11 | 20 | S |
(ABB) | Pisang kepok | 10 | 23 | S |
(ABB) | Pelipita | 16 | 27 | S |
(BBB) | Saba | 17 | 35 | S |
(ABBB) | Klue teparot | 16 | 30 | S |
Pengujian Baharuddin (1994) terhadap 20 spesies tanaman menunjukkan bahwa BDB memiliki kisaran inang yang lebih luas. Selain pada pisang, BDB mampu menimbulkan gejala penyakit pada Heliconia collinsiena, H. revolata, Strelitzia reginae, Canna indica, Solanum nigrum, dan Asclepias currasiva, tetapi tidak mampu menimbulkan gejala penyakit pada beberapa tanaman yang merupakan inang utama R. solanacearum, seperti tomat, buncis, tembakau, cabai, kacang tanah, kentang, dan terung.
Cara Penularan dan Penyebaran
Penularan dan penyebaran BDB yang utama diduga terjadi melalui pembungaan dengan bantuan vektor serangga yang mengunjungi bunga. Hal ini berdasarkan pengamatan di lapangan yang menunjukkan bahwa tanaman yang sakit sering menunjukkan gejala pada buah dan batang bagian atas, sedangkan batang bawah dan bonggol tidak menunjukkan gejala serangan.
Serangga tertarik pada bunga jantan karena keberadaan nektar sebagai makanannya. Beberapa serangga yang berpotensi untuk menularkan BDB ditampilkan pada Tabel 3. Peran serangga dalam menularkan BDB masih belum diketahui dengan pasti, apakah sebagai vektor atau hanya sebagai pembawa (carrier) yang terkontaminasi secara tidak sengaja oleh BDB pada saat proses makan.
Selain serangga yang menularkan penyakit melalui bunga, terdapat beberapa kompleks OPT yang diduga juga berperan dalam infeksi BDB. Misalnya adalah nematoda yang “menggerek” perakaran tanaman (burrowing nematode), penggerek bonggol dan penggerek batang pisang. OPT ini menyebabkan pelukaan yang menyediakan jalan masuk bagi BDB.
Tabel 3. Serangga yang terdapat pada bunga jantan pisang dan berpotensi sebagai vektor BDB
Diptera : · Cloropidae · Drosophilidae · Flatypezidae · Culicidae · Muscidae · Antomyiidae · Sarcopangidae | Lepidoptera : · Coleophoridae · Hesperidae
Hymenoptera : · Blattidae · Apidae |
Selain dengan vektor, BDB dapat ditularkan dan disebarkan diantaranya melalui alat-alat pertanian, tanah yang dihanyutkan air, kontak akar dan bibit yang terinfeksi. Pada saat digunakan untuk pemeliharaan kebun, alat-alat yang terkontaminasi dapat menyebabkan luka pada tanaman sekaligus menyebarkan dan menularkan penyakit. Penyebaran BDB antar daerah terjadi melalui benih dan buah pisang yang terinfeksi akibat aktivitas perdagangan.
Strategi Pengendalian
Sampai sekarang belum ada teknik atau metode pengendalian yang menunjukkan hasil yang nyata terhadap penyakit ini. Pengendalian penyakit yang direkomendasikan dan mungkin dapat dilakukan untuk pengendalian BDB adalah sebagai berikut :
1. Karantina. Sejak tahun 1921 dengan Lembaran Negara No. 532 pemerintah telah melakukan tindakan karantina terhadap penyakit darah. Namun demikian penyakit darah tetap menyebar ke seluruh Indonesia. Implementasi dilapangan harus lebih di perhatikan untuk untuk mencegah tersebarnya penyakit darah lebih luas terutama keluar Indonesia.
2. Penggunaan bibit yang sehat. Beberapa literatur menyebutkan bahwa bibit yang sehat dapat diperoleh dari rumpun yang terinfeksi, namun untuk sumber bibit sebaiknya digunakan hanya rumpun yang benar-benar sehat. Bibit dikembangkan dari pohon induk yang jelas sumbernya dan diketahui bebas dari BDB. Untuk perbanyakan bibit dengan kultur jaringan sebaiknya dilakukan pengecekan kesehatan sumber eksplan sebelum diperbanyak.
3. Sanitasi. Sisa-sisa tanaman pisang yang terinfeksi dapat menjadi sumber inokulum yang dapat membantu penyebaran penyakit. Sanitasi harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak melukai tanaman yang sehat agar tidak terjadi penularan penyakit melalui peralatan yang digunakan. Adanya luka pada akar dapat mempermudah terjadinya infeksi. Disinfeksi peralatan dapat menghindarkan penularan penyakit dari tanaman sakit ke tanaman sehat.
4. Pengendalian vektor. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pemberaan lahan, rotasi tanaman, tanaman perangkap, pengendalian hayati (parasitoid dan entomopatogen), maupun pestisida. Pemberaan lahan dilakukan dengan membongkar sisa-sisa tanaman dan tidak menanam pisang kembali selama 2 tahun. Selama masa menunggu ini tanah harus bersih dari gulma yang dapat menjadi tanaman inang.
5. Pengendalian kimia. Penggunaan pestisida kimia tidak secara langsung diarahkan untuk mengobati penyakit BDB, tetapi untuk pengendalian vektor sehingga mencegah tanaman terinfeksi. Pengendalian bahan kimia harus dilakukan dengan bijaksana dengan mempertimbangkan faktor teknis, ekonomis dan ekologis.
6. Penggunaan varietas tahan. Hampir semua varietas pisang yang ada saat ini rentan terhadap BDB. Saat ini telah diperoleh varietas Pisang Kepok yang terhindar (escape) dari BDB, yaitu Pisang Kepok Unti Sayang. Hal ini karena Pisang Kepok ini tidak menyisakan bunga jantan (tanpa jantung) setelah pembentukan buah selesai. Pisang yang dikembangkan oleh PKBT bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan telah dilepas oleh Menteri Pertanian pada tahun 2009.
7. Pembungkusan tandan buah dan pembuangan jantung. Infeksi berawal dari pembungaan yang diperantarai oleh serangga vektor. Pembungkusan tandan buah dan pembuangan jantung diharapkan dapat menghindari infeksi patogen karena serangga vektor tidak dapat mencapai bunga. Teknik ini relatif mudah dilakukan tetapi efektifitasnya masih perlu dikaji terkait dengan waktu yang tepat saat perlakuan.
8. Praktek budidaya yang baik. Pemupukan dan pemeliharaan yang berimbang akan menjadikan tanaman tumbuh optimal sehingga dapat menyelesaikan proses pemasakan buahnya jika sekiranya terinfeksi. Drainase kebun dipelihara agar tetap baik agar pada waktu hujan air tidak mengalir di permukaan tanah dan menyebarkan bakteri.
9. Pengendalian hayati (biokontrol). Agens hayati yang banyak dikembangkan saat ini adalah PGPR dan endofit. Meskipun pengujian secara in vitro dan rumah kaca menunjukkan agens biokontrol dapat menghambat BDB, namun teknik pengendalian hayati ini belum diterapkan di lapangan. Pengembangan mikroba endofit sebagai agens biokontrol untuk BDB memiliki potensi lebih baik karena mikroba endofit memiliki tempat hidup (relung ekologi, niche) yang sama dengan BDB.
10. Induksi ketahanan. Beberapa senyawa kimia dapat digunakan untuk menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen, misalnya asam salisilat (SA), acetylsalicylic acid (aspirin), asam jasmonat (JA), benzothiadiazole (BTH), dan dicloroisonicotinic acid (INA). Induksi ketahanan dapat juga dilakukan dengan mikroba baik mikroba rizosfer maupun mikroba endofit. Penelitian induksi ketahanan pisang terhadap BDB masih sangat terbatas dan masih pada skala rumah kaca.