Jumat, 17 Februari 2012

Gen Patogenisitas pada Patogen Tanaman

Patogen tanaman memiliki beberapa gen untuk menyebabkan penyakit pada tanaman (gen patogenisitas) atau meningkatkan virulensinya pada satu atau beberapa inang (gen virulensi). Faktor patogenisitas disandikan oleh gen patogenisitas (pat) dan gen penyakit spesifik (dsp) yang penting untuk terjadinya penyakit. Gen-gen ini terlibat dalam proses pengenalan inang, kontak (penempelan, attachment) patogen pada permukaan inang, perkecambahan dan pembentukan struktur infeksi, penetrasi, dan kolonisasi inang. Patogen tanaman memiliki strategi yang beragam untuk menginfeksi inangnya yang melibatkan berbagai gen patogensitas tergantung pada jenis patogen dan proses infeksinya. Kerusakan pada gen patogenisitas menyebabkan patogen kehilangan (turun) kemampuannya untuk menimbulkan penyakit.
Patogen menghasilkan faktor patogenisitas berupa senyawa-senyawa untuk mendegradasi dinding sel inang, yaitu enzim (seperti kutinase), toksin (seperti victorin dan toksin HC), hormon (seperti IAA dan sitokinin), polisakarida, proteinase, siderofor, dan melanin. Faktor patogenisitas ini penting untuk proses infeksi dan menimbulkan penyakit oleh patogen. Dilain pihak, senyawa-senyawa yang sama dapat berperan tetapi tidak esensial untuk menginduksi terjadinya dan berkembangnya penyakit. Senyawa yang demikian disebut faktor virulensi yang terdiri dari enzim pendegradasi dinding sel, toksin, hormon, polisakarida, amilase, lipase, molekul signal seperti homoserine lactone, eksopolisakarida (EPS), dan flagella.
Gen patogenisitas pada fungi. Fungi patogen tanaman menggunakan berbagai cara, yaitu chemotropism dan thigmotropism untuk mengenali dan menempel pada inang. Fungi patogen dapat masuk ke inang melalui luka atau lubang alami seperti stomata atau melalui penetrasi langsung dengan membentuk struktur khusus seperti apresorium untuk menembus kutikula dan dinding sel tanaman. Di dalam inang, fungi patogen dapat hidup sebagai biotroph, necrotroph atau biotroph pada tahap awal dan menjadi necrotroph pada tahap akhir infeksinya. Gen patogenisitas mengatur pembentukan faktor patogenisitas seperti struktur infeksi, produksi enzim, metabolit sekunder, dan toksin.
Banyak fungi membentuk apresorium untuk melakukan penetrasi pada inang. Apresorium mengandung gliserol untuk memberi tekanan yang tinggi sehingga memungkinkan kapak penetrasi menembus sel-sel epidermis tanaman. Apresorium Magnaporthe grisea dan Colletotrichum spp dilapisi oleh melanin untuk mencegah kebocoran gliserol. Biosintesis melanin dikendalikan setidaknya oleh tiga gen struktural. Dua diantaranya adalah mpg1 (hydrophobin) yang penting untuk pembentukan apresorium dan pth11 untuk pengenalan inang oleh patogen. Kerusakan gen ini akan menurunkan patogenisitas patogen.
Enzim patogen berperan untuk mendegradasi dinding sel, kutin, pektin[1] dan struktur penghalang fisik lainnya. Enzim-enzim ini dikendalikan oleh lebih dari satu gen. Oleh karena itu, kerusakan pada satu gen penyandi enzim tidak selalu menghilangkan sifat patogenisitas patogen. Namun demikian pada beberapa patogen gangguan pada satu gen penyandi enzim ini dapat menurunkan patogenisitasnya, misalnya kutinase pada Fusarium solani f. sp. pisi, pektat lyase pada Colletotrichum sp, dan pektinase pada Botrytis.
Tanaman menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat anti mikroba, yaitu phytoanticipin dan phytoalexin. Phytoanticipin diproduksi secara constitutive (terus-menerus), yaitu merupakan senyawa saponin seperti avenacin pada oat dan tomatin pada tomat. Phytoalexin diproduksi pada saat tanaman diserang patogen, misalnya pisatin pada pea (buncis), maakianin pada chickpea, dan sakuranetin pada padi. Tanaman mengandung cyanogenic glycosides dan glycosinolates yang pada saat tanaman luka akan membentuk senyawa cyanide, isocyanate, nitrile, dan thiocyanate yang bersifat toksik tidak hanya bagi fungi tapi bagi semua organisme.
Gaeumannomyces graminis var. avena memproduksi enzim avenacinase untuk mendegradasi avenacin sehingga dapat menginfeksi oat. Gangguan pada gen penyandi enzim avenacinase menyebabkan patogen tidak dapat menginfeksi oat. Septoria lycopersici menghasilkan enzyme tomatinase untuk mendegradasi tomatin. Namun demikian kerusakan gen untuk tomatinase tidak mempengaruhi patogenisitas S. lycopersici pada tomat. Hal ini mungkin disebabkan karena patogen memiliki enzim lain yang dapat mendegradasi tomatin. Nectria haematococca menghasilkan pisatin demethylase untuk mendegradasi pisatin. Gangguan satu dari enam gen penyandi pisatin demethylase hanya sedikit menurunkan patogenisitas patogen, tetapi gangguan satu dari empat gen penyandi detoksifikasi maakianin akan menghilangkan patogenisitas patogen.
Toksin yang dihasilkan oleh fungi patogen ada yang bersifat spesifik (hanya mematikan inang) dan ada yang tidak sepesifik (dapat mematikan tanaman bukan inang). Empat toksin spesifik yang telah dipelajari adalah toksin HC, toksin Alternaria alternata (AAL), toksin T dan victorin. Toksin HC mencegah deasetilasi histon pada nukleus dan menghambat pembentukan senyawa anti fungi oleh tanaman, toksin AAL menghambat sintesis enzim ceramide suynthetase di retikulum endoplasmik (ER) sehingga mengganggu transduksi signal dari protein kinase, toksin T dapat bereaksi dengan protein Urf13p untuk membentuk pori pada membran mitokondria dan menyebabkan kebocoran ion H+,  dan victorin menghambat sintesis enzim glycine decarboxylase yang menyebabkan terurainya RUBISCO. Biosintesis masing-masing toksin tersebut dikendalikan oleh beberapa gen yang tergabung dalam suatu wilayah (cluster). Kerusakan pada gen-gen penyandi toksin tersebut dapat menekan patogensitas patogen tetapi adapula yang tidak berpengaruh.
Ekspresi gen-gen yang terlibat dalam patogenisitas fungi ditentukan oleh gen-gen signaling seperti G-protein-coding gen, mitogen-activated protein (MAP) kinase gen, dan cyclic AMP-dependent protein kinase gen. Gangguan pada gen-gen signaling ini menyebabkan patogen kehilangan seluruh atau sebagian besar patogenisitasnya dan memperlihatkan penurunan laju pertumbuhan, produksi spora, dan produksi toksin. Gen-gen signaling sepertinya sama pada semua fungi tetapi lintasan signaling dan interkoneksinya yang berbeda untuk setiap fungi sehingga kerusakan pada gen-gen ini dapat memberikan efek yang berbeda pada setiap fungi. Gangguan pada gen pmk1 pada M. grisea dapat dikomplementasi dengan gen cmk1 dari Colletotrichum lagenarium. Peran gen signaling dalam proses perkawinan (mating) dapat dilihat pada patogen Ustilago maydis dan U. hoedei yang bersifat patogen hanya pada kondisi dikariotik setelah terjadi mating.
Gen patogenisitas pada bakteri. Bakteri masuk ke dalam tanaman melalui luka atau lubang alami seperti stomata sehingga bakteri tidak perlu melakukan penetrasi tetapi harus memiliki cara untuk kontak (adhere) dengan permukaan tanaman.  Kebanyakan bakteri tidak memiliki mekanisme untuk menempel (adhesion) pada inang kecuali bagi bakteri yang berpindah melalui xilem dan phloem. Misalnya bakteri Agrobacterium, membutuhkan reseptor pada permukaan inang untuk melekat (attachment) agar dapat mentransfer tDNA dan menimbulkan penyakit. Seperti halnya Agrobacterium, bakteri patogen tumbuhan lainnya memiliki gen penyandi protein untuk pelekatan dan agregasi. Ralstonia solanacearum, Pseudomonas, Xanthomonas dan Xylella memiliki 35 gen yang homolog dengan gen penyandi pili tipe IV. Pada Pseudomonas, Xanthomonas pili type IV ini terlibat dalam agregasi antar sel dan proteksi terhadap cekaman lingkungan, sedangkan pada Xylella berperan untuk pemantapan agregasi populasi bakteri. Keempat bakteri ini juga memiliki gen penyandi adhesin dan hemaglutinin-related yang homolog dengan gen pada mamalia.
Sistem sekresi merupakan sarana penting dalam patogenisitas bakteri untuk mentranslokasikan protein bakteri dan molekul lain ke dalam sel tanaman. berdasarkan protein penyusunnya, terdapat lima sistem sekresi (SS) protein pada bakteri, yaitu :

Tipe I   :  terdapat pada hampir semua bakteri patogen; mensekresikan toksin seperti hemolysins, cyclolysin, and rhizobiocin; terdiri dari protein ATP-binding cassete (ABC): energi untuk memasukkan dan mengeluarkan senyawa ke dalam sel bakteri berasal dari hydrolisis ATP.
Tipe II    :  umumnya terdapat pada bakteri Gram negatif; mensekresikan berbagai protein, enzim, toksin, dan faktor virulensi melalui dua tahap.
Tipe III  :  merupakan sistem sekresi yang paling penting untuk bakteri patogen seperti Ralstonia, Pseudomonas, dan Xanthomonas. Fungsi utamanya adalah untuk transportasi protein efektor melintasi membran sel bakteri dan memasukkannya ke dalam sel tanaman. Gen penyandi SS tipe III ini memiliki kemiripan pada 2/3 asam aminonya sehingga disebut hypersensitive response conserved (hrc).
Tipe IV  :  mentransportasi makromolekul dari bakteri ke dalam sel inang, misalnya transfer tDNA dari Agrobacterium ke dalam sel inang. Proses transfer protein ini sangat mirip dengan transfer plasmid antar bakteri.
Tipe V    :   autotransporter,  memiliki gen yang menyandikan adhesin permukaan.
Bakteri memiliki enzim pendegradasi dinding sel yang bervariasi. Enzim tersebut meliputi pectinase, cellulase, protease, dan xylanase.  Pectinase merupakan enzim yang dianggap paling penting dalam patogenesis bakteri tumbuhan yang menyebabkan peluruhan (maserasi) jaringan akibat degradasi pektin pada lamela tengah. Terdapat empat tipe enzim pendegradasi pektin, yaitu pectate lyase (Pel), pectin lyase (Pnl), dan pectin methyl esterase (Pme) yang optimum pada pH tinggi (~8.0) dan polygalacturonase yang optimum pada pH sekitar 6. Masing-masing enzim tersebut tersedia dalam berbagai bentuk atau isozim dan disandikan oleh gen secara terpisah.
Ekspresi gen penyandi pektinase diatur secara global melalui mekanisme menyerupai quorum sensing yang merupakan pengaturan berdasarkan kepadatan populasi sel (cell density-dependent regulatory). Enzim diproduksi ketika bakteri dan induser (homoserine lactone, HSL) mencapai tingkat kritis. Quorum sensing memungkinkan bakteri dapat berkembang dalam jaringan inang tanpa menimbulkan respon ketahanan dari inang. Enzim pendegradasi dinding sel berperan dalam memfasilitasi penetrasi, kolonisasi patogen dan menimbulkan gejala penyakit.
Bakteri menghasilkan enzim pendegradasi dinding sel dengan jenis yang beragam. Erwinia penyebab busuk lunak (soft-rot) memiliki enzim pendegradasi dinding sel tanaman yang paling luas dibadingkan dengan bakteri patogen tumbuhan lainnya. Erwinia chrysanthemi menghasilkan lima grup utama Pel, tiga grup minor Pel. Erwinia carotovora menghasilkan tiga grup utama Pel, Pel intraseluler, dan beberapa grup minor Pel. Xanthomonas campestris pv. campestris penyebab busuk hitam pada kubis-kubisan memiliki gen untuk menyandikan dua enzim pectin esterases, dua enzim polygalacturonases, empat enzim pectate lyases, lima xylanases, dan sembilan cellulases. X. citri tidak memiliki enzim pectin esterases sehingga memiliki gejala yang berbeda dengan X. campestris pv. campestris. Bakteri lain kurang bersifat pektinolitik adalah Agrobacterium tumefaciens yang hanya memiliki empat gen penyandi pectinase dan Xylella yang memiliki hanya satu gen penyandi polygalacturonase.
Toksin merupakan faktor patogenisitas yang paling penting bagi bakteri patogen. Misalnya adalah coronatine dan syringomycin yang dihasilkan oleh beberapa Pseudomonas dan albicidin yang dihasilkan oleh X. albilineans. Coronatine berfungsi untuk menekan induksi gen pertahanan inang, sedangkan albicidin mencegah terjadinya replikasi DNA prokariotik dan perkembangan plastid sehingga menyebabkan gejala klorosis pada daun muda.
Faktor patogenisitas bakteri lainnya adalah polisakarida ekstraseluler (EPS, extracellular polysaccharides), misalnya pada Ralstonia solanacearum penyebab layu, EPS1 merupakan faktor virulensi utama untuk menimbulkan penyakit. EPS menyumbat pembuluh xylem sehingga menyebabkan layu. Sedikitnya terdapat 12 gen yang terlibat dalam biosintesis EPS1. Komponen utama EPS dari E. carotovora adalah amilovoran yang biosintesisnya dikendalikan oleh beberapa cluster gen.
Bakteri mengembangkan sistem pengaturan dan jaringan (regulatory system and network) untuk menentukan kapan harus mengekspresikan gen patogenisitas dan virulensi. Sistem ini memantau kondisi lingkungan dan memicu perubahan drastis pada fisiologinya. Komponen utama dari sistem pengaturan respon ini adalah sensor transmembran berupa protein kinase. Protein sensor akan menangkap signal dan menjadi aktif. Sensor ini kemudian akan mengaktifkan pengatur respon (response regulator) pada sitoplasma yang selanjutnya akan mengaktifkan gen-gen target.
Gen-gen patogenisitas dan virulensi dari Ralstonia solanacearum dikendalikan oleh jaringan yang kompleks yang mengandung gen phcA (sebagai response regulator) dan produk operon phcBRSQ yang mengontrol level PhcA aktif sesuai dengan kepadatan sel. PhcA pada level tinggi akan mengaktifkan gen-gen virulensi seperti EPS1 dan beberapa eksoenzim. Ketika PhcA tidak aktif sel akan mengaktifkan gen-gen untuk memproduksi polygalacturonase, siderofor, perangkat sekresi Hrp dan swimming motility.  Level PhcA di dalam sel dikendalikan oleh 3-OH palmitic acid methylester (3-OH PAME). Semakin tinggi 3-OH PAME di dalam sel semakin tinggi level PhcA dan sebaliknya.
Bakteri Agrobacterium memiliki sistem pengaturan dua komponen (two-component regulatory system) untuk mengenali dan bereaksi terhadap tanaman yang rentan. Komponen tersebut adalah VirA yang merupakan protein sensor di membran dan VirG yang merupakan protein pengatur respon di sitoplasma. Gen virA diaktifkan oleh senyawa fenolik seperti lignin, flavonoid, dan acetosyringone yang dikeluarkan tanaman saat luka. Selanjutnya, VirA (suatu protein produk virA) akan mengaktifkan gen-gen vir lainnya.
Faktor patogenisitas bakteri yang lain adalah lipopolisakarida (LPS) yang merupakan komponen dinding sel luar bakteri Gram negatif seperti Erwinia. Siderofor dari Erwinia yaitu catechol dan hydroxamate merupakan penentu virulensi. Siderofor ini melindungi bakteri dari H2O2 dan mencegah terbentuknya reaktif oksigen (ROS). Peptida methionine sulfoxide reductase dapat melindungi dan memperbaiki protein bakteri yang rusak karena ROS. Gen-gen hrp dan avr berhubungan dengan ekspresi gen patogenisitas dan spesifisitas inang. Gen hrp menyandikan protein harpin (pilin) yang digunakan sebagai sistem sekresi Tipe III untuk mensekresikan protein Avr ke dalam sel tanaman. Protein Avr dan harpin dapat menginduksi reaksi hipersensitif (HR). Protein Avr berperan dalam menentukan kompatibilitas interaksi patogen dan inang.
Gen patogenisitas pada virus tanaman. Virus memiliki jumlah gen yang terbatas, namun virus merupakan patogen yang penting karena dapat memanfaatkan gen yang dimiliki dengan berbagai cara untuk mengembangkan faktor patogenisitasnya. Semua virus memiliki gen penyandi protein selubung (coat protein, CP), asam nukleat (DNA atau RNA), dan movement protein (MP). Ketiga gen ini merupakan gen patogenisitas yang penting bagi virus karena terkait dengan kemampuan hidup (survival), multiplikasi, dan penyebaran virus.
CP berfungsi sebagai pelindung asam nukleat dan berperan dalam infeksi, multiplikasi dan diseminasi virus. Beberapa virus membutuhkan CP untuk pergerakan jarak jauh tetapi tidak untuk pergerakan antar sel, beberapa virus lain membutuhkan CP untuk pergerakan antar sel. Perubahan pada susunan asam amino CP dapat menghambat infeksi sistemik virus. Beberapa virus negative-sense RNA seperti Alfamovirus dan Ilarvirus hanya dapat menginfeksi tanaman jika memiliki CP. CP berperan dalam menimbulkan gejala, perubahan pada gen penyandi CP dapat menyebabkan perubahan gejala yang sangat berbeda. CP juga berperan sebagai elicitor untuk respon ketahanan inang. CP berinteraksi secara langsung dengan MP. MP dapat meningkatkan multiplikasi dan penyebaran virus antar sel dan tanaman.
Gen patogenisitas pada nematoda.  Nematoda mempenetrasi tanaman dengan stylet. Nematoda mensekresikan senyawa tertentu untuk proses infeksinya yang berperan dalam peneluran (hatching), pertahanan, pergerakan dan pembentukan feeding site. Senyawa tersebut dihasilkan dari kutikula, amphids, dan esophageal gland cells. Kutikula nematoda mengandung protein yang terikat pada retinol, asam lemak linolenat dan linoleat. Perokidasi asam lemak oleh lipoksigenase dapat menginduksi pembentukan asam jasmonat dan ROS yang berperan dalam respon ketahanan inang. Kutikula dapat menghasilkan peroksiredoksin (peroksidase) dan superoksida dismutase untuk melawan ROS. Amphid secretion berperan dalam pembentukan dan pemeliharaan feeding site. Pada esophageal gland cells setidaknya ditemukan dua gen yang berperan dalam patogensitas nematoda, yaitu gen homolog hymenopteran venom allergen dan cellulose-binding cellulase-like protein.


[1] Pektin tersusun dari asam polygalacturonic dan gula, terdapat pada dinding sel dan lamela tengah. Pektin memiliki bebrbagai bentuk dan dapat didegradasi oleh pektin lyase, polygalakturonase dan pektin metilesterase. Enzim pendegradasi dinding sel lainnya : pektinase, glukanase, xylanase, selulase, ligninase, dan hemiselulase

Rabu, 15 Februari 2012

Teknik Identifikasi Bakteri

Identifikasi bakteri dapat dilakukan secara FENOTIPIK (morfologi, fisiologi, biokimia) dan GENOTIPIK. Identifikasi secara fenotipik hanya dapat dilakukan untuk bakteri yang dapat dikulturkan (culturable), sedangkan identifikasi genotipik dapat dilakukan untuk bakteri yang dapat maupun tidak dapat dikulturkan (unculturable).

Morfologi koloni bakteri meliputi bentuk, warna dan bau koloni dapat digunakan untuk identifikasi bakteri patogen tumbuhan. Pigmen yang dihasilkan merupakan hal penting dalam identifikasi awal bakteri. Namun beberapa bakteri patogen maupun non-patogen dapat memiliki koloni yang sama, sehingga identifikasi dengan morfologi koloni tidak akurat. Beberapa media semi selektif – diferensial telah tersedia untuk ddentifikasi bakteri berdasarkan morfologinya, misalnya TZCA untuk Ralstonia solanacearum (Gambar 1) dan King’s B untuk Pseudomonas kelompok fluoresence (Gambar 2).



Gambar  1.   Koloni bakteri Ralstonia solanacearum pada media TZCA : cembung, berlendir, berwarna putih dengan bagian tengah berwarna merah


Gambar  2.   Produksi pigmen fluorescent biru lemah (weak blue) oleh Pseudomonas syringae pv. phaseolicola (kiri) dan hijau kuning kuat (strong greenyellow) oleh P. syringae. pv. syringae (kanan) pada umur 3 hari pada media King’s B

Morfologi sel. Bakteri patogen tumbuhan umumnya gram negatif dengan bentuk batang. Namun adapula yang gram positif dengan bentuk filamen. Morfologi sel bakteri patogen tidak berbeda dengan bakteri non patogen sehingga dibutuhkan teknik lain untuk identifikasi bakteri patogen tumbuhan.

Karakteriasi fisiologi. Beberapa uji fisiologi yang dilakukan adalah kemampuan tumbuh pada kisaran suhu tertentu (40 atau 37°C), suhu lethal (thermal death point) untuk patogen tumbuhan biasanya adalah 50-55ÂșC pada medium cair selama 10 menit, toleansi terhadap NaCl, resistensi terhadap antibiotik, misalnya streptomycin untuk Erwinia amylovora uji produksi toksin, ice nucleation activity untuk Pseudomonas syringae group and Clavibacter spp.

Karakterisasi biokimia dapat menguji ekspresi genetik dari bakteri pada media uji, misalnya sumber C dan N, sifat oksidatif/fermentatif (OF),  LOPAT, dan produksi enzim tertentu. Beberapa kit komersial telah tersedia untuk pengujian biokimia ini, misalnya  API system strips dan BIOLOG system.



Gambar  3.   Uji OF untuk bakteri R. solanacearum (Rs) dan E. carotovora (E-1) : Warna kuning pada media tanpa parafin (b dan d) menunjukkan kedua bakteri bersifat oksidatif. Warna kuning pada media dengan parafin (c) menunjukkan bakteri bersifat fermentatif, sedangkan media akan tetap berwarna hijau (a) menunjukkan bakteri tidak bersifat fermentatif

Identifikasi secara genotipik tekniknya sama dengan deteksi dengan molekuler, yaitu menggunakan PCR seperti rep-PCR, BOX PCR, Nested PCR, RFLP, RAPD, AFLP, dsb. Masing-masing teknik PCR ini memiliki kespesifikan tersendiri. Untuk identifikasi yang lebih akurat dapat digunakan primer spesifik dan perunutan DNA (DNA sequencing). Semakin miripan sekuen DNA berarti semakin dekat hubungan kekerabatannya (tingkat keakuratan identifikasi).

Keunggulan identifikasi dengan teknik molekuler adalah :
·      Cepat, sensitif dan relatif lebih murah (cost effective)
·    Tersedia kit komersial dan terstandar
·    Dapat digunakan untuk bakteri yang tidak dapat dikulturkan maupun yang dapat dikulturkan
·    Dapat lebih mudah menelusuri GMO di lapangan
·    Tingkat diskriminatifnya tinggi, bisa sampai strain

Kelemahannya adalah :
·    Spesifisitas dan sensitivitas tidak dapat diketahui atau terbatas
·    Dapat terjadi hasil negatif karena gangguan faktor lingkungan atau biokimia
·    Tidak dapat membedakan sel yang mati dan yang hidup serta adanya cemaran asam nukleat di dalam sampel
·    Dapat terjadi kesalahan diagnosis (negatif atau positif palsu) yang sulit diverifikasi. Postulat Koch tidak terpenuhi.
·    Perubahan probe/primer/enzim/metode/bahan-bahan kimia yang digunakan dapat menyebabkan perbedaan hasil.
·    Hasilnya tergantung pada informasi sistem identifikasi yang sudah tersedia di bank data

Patogenicity islands

Pathogenicity islands (PAI) adalah gugus (cluster) gen-gen yang berhubungan dengan sifat patogenisitas dari suatu bakteri patogen. PAI memiliki ukuran bervariasi, dari hanya beberapa Kb sampai dengan 500 Kb. Ukuran 500 Kb ditemukan misalnya pada M1 yang membawa gen-gen untuk simbiosis. Gen-gen pada pathogenicity islands bersifat/ciri :
PAI umumnya terdapat di dalam kromosom (suatu wilayah/bagian dari kromosom), tetapi dapat juga terdapat di dalam plasmid (wilayah/bagian dari plasmid). PAI mengandung gen-gen yang menyandikan faktor patogenisitas (faktor virulensi) yang berguna untuk adaptasi bakteri terhadap lingkungan ekologis spesifik atau interaksi bakteri dengan tanaman inang. Salah satu faktor virulensi yang disandikan oleh gen di dalam PAI adalah protein-protein yang terkait dengan sistem sekresi tipe III (T3SS) dan protein efektornya seperti protein Avr.
   Tidak stabil dan mudah ditransfer secara horizontal (horizontal gene transfer, HGT) ke sel bakteri lain
    Distribusinya diskontinyu di dalam spesies bakteri
    PAI memiliki GC content relatif rendah bila dibandingkan dengan bagian lainnya dari genom bakteri tersebut
    Terkait dengan elemen genetik yang bersifat mobile (misalnya insertion sequence-IS, transposon-Tn, …) dan sekuen berulang (repeated sequences)
    PAI pada beberapa bakteri dapat juga mengandung gen tRNA dan/atau gen-gen untuk integrase dan transposase
Sebagai contoh adalah Hrp PAI dari P. syringae. Struktur Hrp PAI dari P. syringae terdiri dari tiga bagian, yaitu T3SS yang diapit oleh dua wilayah yang membawa gen-gen efektor. Wilayah kanan bersifat relatif lestari (conserve) dalam hal ukuran maupun gen content diantara spesies P. syringae sehingga disebut CEL (conserved effector locus), sedangkan wilayah kiri sangat bervariasi sehingga dinamakan EEL (exchangeable effector locus).