Ralstonia solanacearum adalah salah satu bakteri patogen tumbuhan yang paling merugikan.
Patogen ini meyebabkan penyakit pada lebih dari 200 spesies dalam lebih dari 50
famili tanaman terutama Solanaceae.
Serangan patogen ini secara nyata dapat menurunkan produksi dan kualitas hasil.
Bakeri ini tersebar di daerah tropik, sub tropik maupun temperate/dingin. Di
daerah tropis patogen ini berkembang dengan subur karena keberadaan inang
sepanjang tahun. Di daerah temperate dimana tanaman inang tidak selalu ada,
patogen ini menjadi penting (terutama pada kentang) lebih karena status
karantinanya bukan karena kerusakan yang ditimbulkannya.
Tabel 1. Klasifikasi R.
solanacearum berdasarkan ras dan biovar
Ras
|
Kisaran inang
|
Distribusi geografis
|
Biovar
|
RFLP 16S rRNA
|
1
|
Luas, beberapa genus tanaman
|
Asia, Australia
Amerika
|
3 dan 4
1
|
I
II
|
2
|
Pisang dan Musa spp
|
Karibia, Brazil, Filipina
|
1
|
II
|
3
|
Kentang
|
hampir seluruh dunia
|
2
|
II
|
4
|
Jahe
|
Asia
|
3 dan 4
|
I
|
5
|
Mulberry
|
China
|
5
|
I
|
Klasifikasi berdasarkan ras dan biovar merupakan klasifikasi berdasarkan
pada kriteria fenotipik dan tidak mempertimbangkan genetik antar strain.
Klasifikasi berdasarkan kriteria fenotipik membutuhkan pekerjaan yang banyak
dan memakan waktu relatif lama. Kelemahan klasifikasi fenotipik ini dapat
diatasi dengan klasifikasi secara molekuler yang dapat mengkarakterisasi suatu
mikroorganisme dengan lebih cepat. Selain itu teknik molekuler dapat
mengkaraktersisasi mikroorganisme yang tidak dapat dikulturkan (viable
but unculturable).
Organisasi Genome R. solanacearum
R. solanacearum memiliki dua DNA sirkuler berukuran besar, yaitu kromosom dan
megaplasmid. Kedua DNA ini memiliki gen penting untuk hidup bakteri, memiliki
gen patogenisitas, dinukleotida yang sama relatif banyak, dan kemiripan dalam
susunan dan distribusi sekuens sederhana berulang (simple sequence repeat). Persamaan
ini menyebabkan dugaan bahwa kedua DNA ini telah berevolusi bersama
(co-evolusi) sepanjang masa hidupnya. Namun mekanisme yang menyebabkan
co-evolusi ini belum diketahui dengan jelas.
DNA kromosom disebut juga
sebagai genom inti (core genome) atau gen penjaga (housekeeping genes) karena menyandikan protein yang esensial
untuk kehidupan bakeri, ada pada semua spesies bakteri dan bersifat lestari (conserve) atau lambat mengalami evolusi. Keragaman R. solanacearum dapat dianalisis menggunakan DNA kromosom,
tetapi tingkat diskriminasi yang tinggi dapat diperoleh melalui kombinasi
analisis housekeeping genes dan gen dalam plasmid (flexible/accesory
genome) yang lebih variabel dan terkait dengan virulensinya. Genom aksesori ini
mengandung gen yang bervariasi antar strain, dapat dipertukarkan, dan biasanya
meningkatkan daya hidup dari bakteri, misalnya gen yang terkait dengan
virulensi, resistensi antibiotik, dan elemen yang dapat berpindah (mobile element).
Gambar 1. Dua genom pada R.
solanacearum, yaitu kromosom (kiri) dan megaplasmid (kanan) dan posisi
beberapa posisi lokus yang digunakan untuk analisis genetik
Ket. : ppsA, phosphoenolpyruvate synthase; gyrB, DNA gyrase (subunit B); adk, adenylate kinase (ATP-AMP
transphosphorylase); gdhA,
glutamate dehydrogenase [NAD(P)_] oxidoreductase; gapA, glyceraldehyde 3-phosphate
dehydrogenase oxidoreductase; hrpB,
regulatory transcription regulator; fliC,
flagellin protein; egl,
endoglucanase precursor (endo-1,4-beta-glucanase)
Klasifikasi R. solanacearum berdasarkan Penanda Molekuler
Klasifikasi R. solanacearum secara genetik dilakukan berdasarkan beberapa teknik yaitu ALFP, RFLP, dan sequencing DNA. Target DNA yang digunakan dalam analisis adalah DNA kromosom maupun DNA megaplasmid. DNA kromoson yang sudah dianalisis adalah gen penyandi 16S rRNA, daerah internal transcribed spaces (ITS) dari gen penyandi 16S-23S rRNA, gen ppsA (phosphoenolpyruvate synthase), gen gyrB (DNA gyrase, subunit B), gen adk (adenylate kinase), gen gdhA (glutamate dehydrogenase oxidoreductase) dan gapA (glyceraldehyde 3-phosphate dehydrogenase oxidoreductase), gen lpxC (UDP-3-O-acyl N-acetyl-glucosamine deacetylase), gen mutS, dan gen polygalacturonase. Sedangkan DNA megaplasmid yang dianalisis tediri dari tiga gen yang terkait dengan faktor vulensi, yaitu gen hrpB (araC = 1-β-D-arabinosa furanosylcystosine transcription regulatory protein), gen fliC (protein flagellin) dan gen egl (endoglucanase precursor).
Klasifikasi genetik berdasarkan gen penyandi 16S rRNA dengan teknik RFLP menunjukkan bahwa R. solanacearum terbagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu Divisi I dan Divisi II (Cock, D. et al., 1989 dan Cock, D and L. Sequeira, 1994). Berbeda dengan klasifikasi berdasarkan ras dan biovar, klasifikasi berdasarkan gen penyandi 16S rRNA dengan teknik RFLP menunjukkan adanya korelasi antara divisi dengan biovar. Biovar 1 dan biovar 2 dengan sifat metabolisme yang kurang versatile masuk ke dalam Divisi II, sedangkan biovar 3, 4 dan 5 dengan metabolisme yang lebih versatile masuk ke dalam Divisi I (Tabel 1).
Klasifikasi berdasarkan genetik juga dilakukan oleh Fegan dan Prior (2003) berdasarkan analisis daerah ITS dari gen penyandi 16S-23S rRNA, gen hrpB dan gen egl menggunakan teknik AFLP atau RFLP. Klasifikasi ini membedakan R. solanacearum ke dalam empat phylotype yang mencerminkan distribusi geografis. Phylotype I terdiri atas strain rase 1 biovar 3 dari Asia. Phylotype II terutama berisi strain biovar 1 dari Amerika. Phylotype III merupakan strain dari Afrika dengan keragaman genetik yang paling besar, memiliki kisaran inang yang luas. Phylotype IV dengan keragaman genetik yang tinggi terdiri dari ras 1, 2 dan 3 serta biovar 1, 2 dan 2T. Phylotype ini terdiri atas strain dari Indonesia, Jepang dan Australia termasuk Pseudomonas syzygii dan Blood Disease Bacterium (BDB). Phylotype I dan II sama dengan Divisi I dan II berdasarkan klasifikasi oleh Cock et al. Lebih jauh lagi masing-masing phylotype dibagi ke dalam grup yang lebih kecil yang disebut sequevar. Sequevar ditentukan berdasarkan sekuen parsial (sebagian) dari gen endoglucanase.
Villa et al. (2005) mengkaji keragaman R. solanacearum berdasarkan sekuen DNA berukuran 282 bp yang diamplifikasi menggunakan primer spesifik 759 (21 bp) dan 760 (24 bp). Identifikasi sekuen menunjukkan bahwa sekuen ini adalah gen lpxC (UDP-3-O-acyl N-acetyl-glucosamine deacetylase). Analisis keragaman genetik dilakukan berdasarkan perbandingan sekuen 237 nukleotida, yaitu sekuen teramplifikasi setelah dihilangkan primernya. Kajian ini menunjukkan bahwa R. solanacearum dikelompokkan ke dalam tiga grup. Lebih jauh lagi, ketiga grup ini dibagi kedalam 13 sub-grup berdasarkan multiple sequence aligment.
Grup I (4 subgrup) terutama terdiri atas strain ras 1 dari Australia, Jepang, Filipina dan Guyana. Grup II (4 subgrup) merupakan kelompok strain ras 1, 2 dan 3. Pembagian sub-grup pada Grup II menggambarkan klasifikasi berdasarkan ras dan biovar. Subgrup IIA (strain pisang) berkaitan dengan sequevar 3, 4 dan 6 sedangkan Subgrup IIB (strain kentang) berkaitan dengan sequevar 1 dan 2. Seluruh anggota subgrup IIB ini merupakan isolat biovar 2 ras 3. Grup III (5 subgrup) tersusun atas biovar 2 (Filipina), N2 (Jepang), BDB dan P. syzygii (Indonesia). Grup III sama dengan sub divisi 2b. Grup I, II dan III ini bersesuaian dengan phylotype I, II dan IV seperti yang diajukan oleh Fegan dan Prior (2003). Sayangnya kajian Villa et al. ini tidak menyertakan isolat dari Afrika yang masuk ke dalam phylotype III berdasarkan Fegan dan Prior.
Klasifikasi organisme berdasarkan sekuen DNA lebih akurat. Analisis sekuen gen lpxC dapat membedakan DBD dan P. syzygii yang merupakan kerabat dekat R. solanacearum. Meskipun akurat, klasifikasi berdasarkan sekuen DNA juga bersifat dimanis, dapat berubah tergantung pada DNA target yang disekuensing. Misalnya pada kasus R. solanacearum ini analisis berdasarkan sekuen gen polygalakturonase menunjukkan bahwa sub divisi 2b lebih dekat kekerabatannya dengan sub divisi 2a, tetapi berdasarkan sekuen gen endoglucanase dan daerah ITS 16S rRNA sub divisi 2b lebih dekat dengan divisi 1. Namun demikian, kedua hal tersebut menkonfirmasi adanya sub divisi 2b.
Pengklasifikasian berdasarkan AFLP-PCR sangat tergantung pada pemilihan primer yang tepat. Tingkat diskriminasi ditentukan oleh spesifisitas primer yang digunakan. Sementara itu, klasifikasi RFLP-PCR sangat bergantung pada enzim restriksi yang digunakan dan sekuen DNA target. Penggunaan beberapa enzim restriksi untuk klasifikasi R. solanacearum berdasarkan gen lpxC memberikan tingkat diskriminasi yang bervariasi. Analisis RFLP-PCR terhadap gen lpxC selain dapat membedakan DBD dan P. syzygii juga dapat membedakan R. solanacearum berdasarkan grup, subgrup, biovar maupun ras (Tabel 2).
Tabel 2. Polymorfisme
gen lpxC pada R. solanacearum, BDB dan P.
syzygii yang dipotong dengan beberapa enzim restriksi
Enzim restriksi
|
Ukuran fragmen DNA (bp)
|
Grup/subgrup
|
Biovar/genus
|
Ras
|
NlaIII
|
116, 166
tidak terpotong
54, 228
|
I
II
III
|
3, 4, 5, N2
1, 2, N2
N2, P. syzygii, BDB
|
1
1, 2, 3
…
|
HgaI
|
55, 66, 161
27, 28, 66, 161
55, 227
24, 94, 161
121, 161
|
IA, IB, IC
ID
II
IIIA, IIIB, IIIC, IIIE
IIID
|
3, 4, 5, N2
3
1, 2, N2
N2, P. syzygii, BDB
P. syzygii
|
1
1
2, 3
…
…
|
DpnII, Sau3AI
|
46, 236
|
IIID
|
P. syzygii
|
…
|
NdeII, MboI, BsbrBI
|
51, 231
|
IIA
|
1
|
2
|
MspI, HphII
|
80, 87, 115
29, 51, 87, 115
80, 202
tidak terpotong
|
IIA
IIB, IID
IA, ID, III
IB, IC
|
1
1, 2
3, 4, N2, BDB, P. syzygii
3, 4, 5
|
2
1, 3
1
1
|
McrI, MsiEI
|
35, 65, 183
202, 80
65, 217
tidak terpotong
|
I
IIC
IIA, IIB, IID, IIIA, IIIB, IIID
IIID, IIIE
|
3, 4, 5, N2
1
1, 2, N2
P. syzygii
|
1
1
1, 2, 3
…
|
MnlI
|
48, 65, 68, 101
26, 65, 90, 101
101, 181
20, 45, 101, 116
65, 101, 116
|
IIID, IIIE
IIA, IIB, IID
IIC
IA, IB, IC
ID, IIIA, IIIB, IIIC
|
P. syzygii
1, 2, N2
1
3, 4, 5, N2
3, N2, BDB
|
…
1, 2, 3
1
1
…
|
Csp61
|
112, 170
|
IIC
|
1
|
1
|
RsaI
|
111, 171
|
IIC
|
1
|
1
|
Variasi genetik suatu organisme dapat disebabkan oleh adanya tekanan seleksi dari lingkungan. Untuk mempertahankan hidupnya, organisme harus dapat beradaptasi pada lingkungannya dengan melakukan perubahan-perubahan pada metabolismenya yang melibatkan perubahan pada tingkat gen. Jarak geografis dapat mempengaruhi variasi genetik dan struktur populasi apabila terjadi keterbatasan (penurunan) pertukaran genetik antar populasi tersebut sehingga menginduksi terbentuknya keragaman antar populasi.
Keragaman yang luas dari R. solanacearum tercermin dari kisaran inangnya yang luas, keganasan, dan daya adaptasi yang luas pada berbagai iklim yang sering dipengaruhi oleh genotipe inang, habitat alami, dan praktek budidaya. Phylotype II umunya dikenal sebagai ras 3/biovar 2 (R3B2) yang merupakan patogen penting pada kentang penyebab busuk coklat. Kelompok ini beradaptasi pada suhu lebih dingin dibandingkan kelompok lainnya, sehingga menjadi ancaman yang serius dalam pengembangan pertanian di daerah temperate.
Meskipun teknik AFLP-PCR, RFLP-PCR dan sequencing dapat menunjukkan keragaman R. solanacearum. Klasifikasi R. solanacearum berdasarkan penanda genetik menujukkan konsitensi dalam menentukan ras maupun biovar (Tabel 3). Namun untuk agar lebih akurat dalam klasifikasinya lebih baik mengkombinasikan beberapa teknik PCR (multiplex PCR). Teknik ini dapat digunakan untuk studi epidemiologi dimana distribusi suatu strain dapat ditentukan dengan benar. Selain itu, teknik molekuler berbasis PCR dapat mendeteksi keberadaan strain-strain yang sulit untuk dikulturkan secara in vitro dan dapat menunjukkan perbedaan antara strain secara konsisten.
Tabel 3. Klasifikasi R. solanacearum berdasarkan
penanda genetik dibandingkan dengan klasifikasi fenotipik
Distribusi geografis
|
ras
|
biovar
|
Grup berdasarkan penanda genetik
|
||
16S rRNA
|
Phylotype
|
lpxC
|
|||
Asia dan Australia
Amerika
Afrika
|
1
|
3 dan 4
1
1
|
I
II
|
I
II
III
|
I
II
-
|
Karibia, Brazil, dan Filipina
|
2
|
1
|
II
|
II
|
IIA
|
Hampir seluruh dunia
|
3
|
2
|
II
|
II
|
IIB
|
Jepang, Filipina, dan Indonesia
|
4
|
3 dan 4
|
I
|
IV
|
III
|
China
|
5
|
5
|
I
|
I
|
I
|
Sumber bacaan :
1.
Castillo, JA and Greenberg, JT. 2007. Evolutionary dynamics of Ralstonia
solanacearum. Applied and Environmental Microbiology 73 (4) : 1225–1238
2.
Villa, J., Tsuchiya, K., Horita, M., Natural, M., Opina, N., Hyakumachi, M.
2003. DNA analysis of Ralstonia solanacearum and related
bacteria based on 282 bp PCR amplified fragment. Plant Disease 87 : 1337-1343.
3.
Schaad, NW.,
Jones, JB., and Chun, W. 2001. Laboratory Guide for Identification of Plant
Patogenic Bacteria 3rd edt. APS Press, St. Paul Minnesota.
4.
Hoy, MA. 2003. Insect Molecular Genetics : an Introduction to Priciples and
Application 2nd edt. Academic Press, Sandiago California USA.
544 pp.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar