Selasa, 19 Juli 2011

Bioteknologi dalam Bidang Pertanian

Pendahuluan
Istilah bioteknologi adalah pemanfaatan proses biologi untuk menghasilkan suatu produk.  Praktek bioteknologi telah dilakukan sejak lama, yaitu dalam proses pembuatan bir, minuman anggur, dan keju.  Namun istilah bioteknologi saat ini lebih terarah pada proses-proses yang melibatkan DNA. Bioteknologi dalam bidang pertanian adalah pemanfaatan teknik-teknik molekuler berbasis DNA untuk rekayasa genetik tanaman dan hewan. Organisme yang dihasilkan dari rekayasa genetik  disebut dengan transgenik, rekombinan atau organisme yang dimodifikasi secara genetik (genetically modified organism = GMO).
Pengembangan bioteknologi pada bidang pertanian mulai berkembang tahun 1990-an. Di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1990-an sekitar US$ 33 juta digunakan untuk penelitian bidang pertanian, dua pertiganya oleh lembaga pemerintah dan sepertiganya oleh perusahaan swasta.  Dari dana tersebut, hanya US$ 2,5 juta yang dialokasikan  untuk penelitian bioteknologi, terutama oleh perusahaan swasta di negara-negara maju.
Bioteknologi juga lebih berkembang di negara maju. Antara tahun 1976 dan 2000, paten tanaman hasil bioteknologi tercatat 4500 untuk perusahaan swasta di Amerika Serikat, 3000 paten dimiliki oleh swasta diluar Amerika dan sekitar 2500 berasal dari universitas dan lembaga non-profit.  Pada tahun 2000, dihasilkan sekitar 1500 paten pertahun dan pada tahun-tahun sesudahnya jumlah paten terus meningkat secara eksponensial di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang.  Perusahaan swasta memiliki sebagian besar paten tersebut, yaitu ¾ bagian di Amerika dan lebih besar lagi di Eropa dan Jepang.
Penemuan dalam teknik bioteknologi menghasilkan tanaman transgenik yang sangat besar.  Lebih dari 10.000 tanaman transgenik telah diuji coba di Amerika Serikat sepanjang tahun 2003.  Sebaliknya, di negara-negara sedang berkembang penelitian bioteknologi berkembang sangat lambat .  Data FAO menyebutkan di negara sedang berkembang hanya terdapat 200 tanaman transgenik yang telah diuji lapangan dari tahun 1976 hingga 2003.
Tanaman transgenik telah tersebar di seluruh dunia. Penggunaan tanaman transgenik secara besar-besaran dimulai pada tahun 1996 dan mencapai 90 juta Ha pada tahun 2005. Sekitar 34 juta Ha tanaman transgenik telah ditanam oleh 7.7 juta petani di negara-negara berkembang seperti Argentina, Brazil, China, India dan Afrika Selatan. Tanaman transgenik yang telah diproduksi dan dikomersilkan antara lain adalah jagung, kapas, kanola, dan kedelai dengan luas penanaman sebesar  15, 20, 30 dan 50 persen dari total luas penanaman masing-masing komoditas.
Penelitian transgenik pada hewan berkembang lambat dan terbatas karena beberapa alasan :
1.    Masa reproduksi yang panjang sehingga butuh waktu lebih lama untuk mengetahui dan mendapatkan hasil
2.    Teknik untuk superovulasi, pemulihan telur, fertilisasi in vitro, transfer inti, kloning dan transfer embrio memiliki tingkat keberhasilan yang rendah sehingga rekayasa genetik pada hewan tidak efisien
3.    Harga hewan relatif mahal sehingga tidak ekonomis
4.    Kekhawatiran akan pengaruh buruk terhadap lingkungan seperti halnya pada mikro organisme
5.    Perhatian pada kesejahteraan hewan (hak asasi hewan)
6.    Lemahnya kemampuan untuk mengatur bioteknologi hewan dan produknya, misalnya untuk kloning manusia.

Pengembangan Varietas Tanaman
Tanaman transgenik pada mulanya diarahkan untuk sifat ketahanan terhadap hama dan herbisida. Pengembangan varietas tanaman melalui bioteknologi saat ini diarahkan untuk peningkatan status gizi, adaptasi terhadap cekaman kekeringan dan membantu proses breding konvensional dengan genomic assisted breeding. Selain dengan peningkatan (menjaga kestabilan) produksi dan mencegah kerusakan selama penyimpanan, bioteknologi dapat meningkatkan nilai gizi dalam bahan pangan seperti vitamin A, mineral besi (Fe) dan seng (Zn). Salah satu produk tansgenik yang banyak diterapkan adalah “Golden rice”, yaitu padi yang bulirnya mengandung beta karoten (bahan dasar vitamin A) lebih tinggi sehingga berwarna kuning cerah seperti emas.
Ketahanan tanaman terhadap kekeringan merupakan salah satu prioritas dalam pemuliaan tanaman, baik secara konvensional maupun bioteknologi. Dua pendekatan dalam pengembangan varietas tahan kekeringan adalah :
1.    Optimalisasi sifat-sifat fenotipik seperti sistem perakaran yang dalam dan vigor, pengontrolan buka-tutup stomata, osmoregulasi, dan lapisan epikutikula daun.
2.    Optimalisasi respon tanaman terhadap kekeringan dengan memanipulasi tingkat produksi enzim pertumbuhan.
Meskipun telah memadukan teknik breeding konvensional dan molekuler, pengembangan varietas tahan kekeringan berjalan lambat. Meskipun telah diidentifikasi penanda genetik yang terkait dengan kekeringan respon tanaman terhadap kekeringan mungkin melibatkan ratusan gen dan banyak dari gen-gen tersebut yang fungsinya belum diketahui.
Bioteknologi dapat membantu proses breeding dengan mendeteksi keberadaan suatu gen dalam individu tanaman  melalui berbagai teknik penandaan molekuler seperti RFLP, RAPD, CAPS, SSR, AFLP dan SNP. Sinergi antara teknik breeding, seleksi terbantu marker dan genomic secara signifikan akan dapat meningkatkan hasil yang lebih besar dibandingkan hasil yang dapat dicapai oleh masing-masing teknik tersebut.
Selain tiga hal di atas pengembangan tanaman transgenik juga diarahkan untuk tujuan khusus terkait dengan peningkatan kesehatan manusia dan perbaikan lingkungan, yaitu :
1.    Tanaman dengan nilai gizi yang meningkat seperti lisin, metionin, Zn, Fe
2.    Tanaman yang tidak menyebabkan alergi pada manusia
3.    Tanaman dengan kadar asam lemak trans rendah
4.    Tanaman yang mampu menyerap cemaran logam berat dari tanah
5.    Tanaman dengan kandungan gula tinggi sebagai bahan baku produksi etanol
6.    Tanaman dengan kandungan vaksin atau seyawa lain yang dapat mengatasi berbagai penyakit
Hanya beberapa dari tanaman transgenik tersebut di atas sudah dikomersialisasi, dan hanya pada luasan terbatas.

Reaksi Masyarakat tehadap Tanaman dan Pangan Transgenik
Tingkat adopsi tanaman transgenik bervariasi antar negara. Tingkat adopsi tertinggi di Amerika diikuti Asia dan yang paling rendah adalah Eropa. Hampir 60% tanaman transgenik dibudidayakan di Amerika Serikat, sekitar 20% di Argentina, masing-masing sekitar 6% di Kanada, Brazil dan China sedangkan di negara lain kurang dari 2%.  Di Eropa seperti Jerman, Portugal, Perancis, dan Republik Checnya hanya menanam sedikit tanaman transgenik. Kapas transgenik karena bukan tanaman pangan lebih cepat tersebar dibandingkan tanaman pangan.
Penerimaan terhadap pangan transgenik bervariasi antar negara. Di Amerika Serikat pangan transgenik relatif diterima masyarakat, sementara di Eropa pangan transgenik mendapat penolakan yang kuat. Tingkat penerimaan masyarakat ini lebih ditentukan berdasarkan kepercayaan terutama terhadap keamanan pangan transgenik. Tingkat penerimaan masyarakat yang tinggi di AS mungkin karena ketidakpedulian (ketidaktahuan) mereka bahwa pangan mereka mengandung produk transgenik.
Pengujian keamanan pangan transgenik di Amerika berdasarkan pada pendekatan “substantial equivalence”. Pangan transgenik harus dijamin bebas dari senyawa yang berbahaya dan memiliki nutrisi yang setara dengan pangan non-transgeniknya. Pengujian pagan transgenik di Eropa lebih ketat, yaitu pendekatan “precautionary principle” berdasarkan tidak ada bahaya yang timbul akibat dari introduksi atau konsumsi pangan transgenik. Aturan yang ketat ini apakah memang untuk perlindungan terhadap resiko atau sebagai barier perdagangan.
Penerimaan masyarakat terhadap pangan transgenik dapat ditingkatkan melalui pendidikan masyarakat tentang keamanan produk tansgenik dan penerapan peraturan yang dipercaya masyarakat dapat menjamin keamanan produk transgenik. Pentingnya pembentukan opini bagi produk transgenik karena produk (teknologi) ini relatif baru dan masyarakat memiliki pengetahuan yang terbatas tentang produk ini. Sumber informasi juga sangat penting dalam membentuk opini. Masyarakat AS lebih percaya kepada peneliti di perguruan tinggi dan profesional kedokteran sedangkan masyarakat Eropa lebih percaya kepada lembaga advokasi.

Pro dan Kontra Produk Transgenik
Pemanfaatan bioteknologi dalam bidang pertanian memiliki pro dan kontra.  Isyu utama yang sering menjadi kontra dalam bioteknologi adalah keamanan pangan dan turunan pangan yang dihasilkan dari tanaman transgenik. Namun demikian tingkat adopsi GMO secara luas dan cepat menunjukkan bahwa petani mendapat keuntungan dengan tanaman GMO tersebut.
Penggunaan tanaman transgenik meningkatkan keuntungan petani melalui peningkatan produksi dan penurunan biaya produksi karena mengurangi penggunaan pestisida. Penggunaan tanaman transgenik tidak hanya menguntungkan bagi petani dan produsen benih tetapi juga menguntungkan konsumen karena terjadi penurunan harga produk akibat menurunnya biaya produksi. Tanaman transgenik diperkirakan meningkatkan pendapatan petani diseluruh dunia sebesar US$ 20 – 30 miliar untuk kurun waktu 1996 – 2004 sebagai akibat dari meningkatnya hasil produksi dan penghematan biaya produksi.
GMO memiliki karakter biologi yang berbeda dengan tanaman non-GMO sehingga GMO memiliki pengaruh yang berbeda pula terhadap lingkungan dibandingkan dengan varietas non-GMO. Tanaman transgenik mungkin menghasilkan pengaruh negatif terhadap lingkungan.  Isyu lingkungan terkait dengan tanaman transgenik adalah :
1.    Tanaman transgenik berefek buruk terhadap serangga, burung dan tanaman yang bermanfaat.  Salah satu contoh yang paling terkenal adalah pengaruh tanaman transgenik Bt terhadap kupu-kupu raja (Monarch).
2.    Kekhawatiran adanya aliran gen dari tanaman transgenik ke tanaman gulma dan tanaman lainnya yang dapat menyebabkan tanaman gulma lebih sulit dikendalikan dari sebelumnya.
3.    Tanaman transgenik yang resisten dapat kehilangan sifat resistensinya sehingga petani harus menggunakan bahan kimia beracun yang lebih toksik untuk memberantas hama/gulma.
Selain adanya kemungkinan pengaruh negatif tersebut, tanaman trangenik memberikan pengaruh positif bagi manusia dan lingkungan sebagai konsekuensi dari berkurangnya pemakaian pestisida, yaitu :
1.    Meningkatnya kesehatan petani karena berkurangnya kontak petani dengan pestisida.
2.    Meningkatnya kesehatan masyarakat karena menurunnya pencemaran lingkungan akibat pestisida. Penggunaan tanaman transgenik mengurangi penggunaan 172 juta kg pestisida dan mengurangi tingkat pencemaran lingkungan sebesar 14%.
3.    Menurunnya emisi gas rumah kaca akibat aktivitas pertanian sekitar 10 miliar kg yang setara dengan mengurangi 5 juta mobil per tahun.

Regulasi Pengembangan dan Pemanfaatan Produk Bioteknologi Pertanian
Pengembangan tanaman transgenik pada awalnya tidak membutuhkan adanya regulasi. Namun dengan semakin intensifnya pengembangan dan pemanfaatan tanaman transgenik maka diperlukan regulasi yang mengatur pemanfaatan, pengembangan, dan perdagangan produk transgenik.  Regulasi pemanfaatan produk bioteknologi pertanian menyangkut dua hal, yaitu keamanan pangan (food safety) dan keamanan hayati (biosafety).
Food safety.  Regulasi mengenai food safety beragam antar negara.  Di Eropa dimana banyak terjadi lalu lintas bahan pangan, sebagian besar negara disana memberlakukan standar yang sesuai dan mendukung Codex Alimentarius, suatu perjanjian internasional lebih dari 100 negara.  Codex dikelola bersama oleh FAO dan WHO dan bertujuan untuk melindungi kesehatan konsumen dan menjamin perdagangan yang adil dalam perdagangan bahan pangan.
Di Amerika Serikat, tanggung jawab untuk menjamin keamanan pangan berada pada FDA yang terutama menyangkut kontaminasi bakteri, mikotoksin, bahan kimia dan pestisida.  Untuk pangan produk bioteknologi, FDA memberlakukan notifikasi pre-market yang menunjukkan keamanan produk pangan bioteknologi. Tanaman transgenik harus memenuhi syarat “kesetaraan substansi” (substantial equivalen) dengan bukan tanaman transgenik.  Tanaman tersebut juga harus mendapat persetujuan dari USDA untuk dibudidayakan. FDA dapat menarik pangan dan produk pangan yang tidak memenuhi kriteria tersebut.
Biosafety.  Di Amerika Serikat, dua lembaga bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap keamanan lingkungan dari tanaman transgenik, yaitu EPA yang bertanggung jawab terhadap senyawa pestisida dan USDA terhadap benih.  Badan Karantina Amerika (Animal and Plant Health Inspection Service = APHIS) bertanggung jawab pada pengujian lapangan,  perpindahan dan impor GMO.  Peran EPA terhadap produk bioteknologi terfokus pada tanaman transgenik yang “menghasilkan pestisida” seperti Bt-cotton.   EPA tidak memiliki wewenang untuk memberikan registrasi tanaman transgenik yang tidak terkait dengan pestisida, misalnya tanaman yang tahan kekeringan.
Pemanfaatan SDG. Perjanjian pertama yang mengatur pemanfaatan SDG dalam bidang pangan dan pertanian adalah International Undertaking on Plant Genetic Resources (IUPGR) yang ditetapkan oleh FAO. Dua hal utama yang diatur dalam IUPGR adalah : (1) SDG dalam bidang pertanian harus dapat dimanfaatkan untuk pemuliaan varietas dan penelitian dan (2) mendukung akses SDG antar negara.
Terkait dengan pemanfaatan sumberdaya genetik (SDG) sebagai bahan dasar dalam bioteknologi, diberlakukan beberapa peraturan. Salah satunya adalah perjanjian mengenai keragaman hayati (Convention on Biological Diversity = CBD) yang diberlakukan tahun 1992 pada konferensi tinggi negara-negara di Rio de Janeiro. CBD mengatur tiga hal utama, yaitu : (1) Pelestarian keragaman hayati, (2) Pemanfaatan sumberdaya hayati secara berkelanjutan, dan (3) Pembagian keuntungan yang jujur dan adil dari penggunaan SDG. CBD juga mengatur mengenai hak kepemilikan SDG (plasma nutfah).
Dalam penerapannya CBD kemudian dilengkapi dengan perjanjian tambahan yang dikenal dengan nama Protokol Cartegena tentang Biosafety yang setujui tanggal 29 Januari 2000.  Protokol Cartagena merupakan perangkat aturan yang terkait dengan perdagangan internasional organisme hasil rekayasa genetik. Protokol Cartagena bertentangan dengan Perjanjian IUPGR ini dalam hal :
1.    Hampir tidak mungkin menentukan asal suatu plasma nutfah
2.    Terkait dengan no. 1 di atas, ketentuan mengenai asal plasma nutfah dan pembagian manfaat (benefit sharing) sulit untuk ditentukan.

Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
Sistem perlindungan varietas tanaman ada dua, yaitu The International Union for the Protection of New Varieties (UPOV) yang banyak dianut oleh negara-negara Eropa dan paten yang dianut oleh Amerika. Kedua perlindungan tersebut bersifat individu dalam suatu negara. Perlindungan tanaman dalam bentuk paten individu membatasi pemanfaatan suatu varietas oleh masyarakat, sehingga timbul pertentangan dan penolakan terhadap paten.
Untuk perlindungan varietas tanaman antar negara diatur oleh The World International Property Organization (WIPO) sedangkan untuk aspek perdagangan di atur oleh World Trade Organization (WTO) dengan ketentuan trade related intellectual property rights (TRIPS). Cakupan TRIPS lebih luas, tidak hanya terkait dengan produk pertanian tetapi juga produk industri.

Bioteknologi dan Ketahanan Pangan
Bioteknologi dapat berperan dalam mencapai ketahanan pangan (food security) di negara sedang berkembang. Namun pemanfaatan bioteknologi harus mempertimbangkan efek positif dan negatif. Peran tanaman transgenik pada ketahanan pangan menghadapi tantangan berupa lemahnya penguasaan teknologi rekayasa genetik, kesepakatan mengenai HaKI, penjaminan keamanan pangan, dan meyakinkan pemerintah dan LSM tentang nilai dari bioteknologi.
Keraguan pentingnya bioteknologi untuk mendukung ketahanan pangan juga didukung oleh fakta yang menunjukkan bahwa kelaparan didunia terjadi bukan karena kurangnya makanan, tetapi karena kurangnya akses masyarakat terhadap makanan tersebut. Pemanfaatan bioteknologi dikhawatirkan justru mengancam ketahanan pangan karena adanya penguasaan terhadap benih. Industri benih dunia dikuasai oleh beberapa perusahaan multinasional (MNCs) seperti Sandoz (sekarang Syngenta), Monsanto, DuPont, Bayer, Advanta, Limagrain dan BASF. Penguasaan produksi benih  oleh beberapa perusahaan MNC dikhawatirkan akan terjadi oligopoli dalam penyediaan benih, pangan dan hak dasar (HAM) akan pangan seperti halnya terhadap produk farmasi.
Dua pertimbangan utama dalam memanfaatkan bioteknologi adalah keuntungan secara ekonomi dan lingkungan. Analisis usahatani pada kapas dan kedelai transgenik menunjukkan bahwa petani dan konsumen mendapat proporsi keuntungan yang lebih besar daripada produsen benih. Tidak dipungkiri lagi bahwa tanaman transgenik memiliki beberapa keuntungan, seperti meningkatkan produksi, meningkatkan keuntungan petani, dan menurunkan biaya produksi akibat berkurangnya penggunaan pestisida. Beberapa pertimbangan lain yang harus diperhatikan adalah potensi bahaya bioteknologi terhadap lingkungan dan pertanian, kesejahteraan manusia, keadilan dan hak-hak publik. Dibalik pro dan kontra, pemerintah memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk memutuskan penggunaan produk transgenik.
Kontribusi bioteknologi dalam pengembangan produk pertanian adalah melalui pengembangan varietas yang beradaptasi baik pada ekologi pertanian, meningkatkan produksi dan keuntungan bagi petani. Varietas tersebut harus memenuhi syarat konsumsi, biosafety dan HaKI. Benih varietas tersebut harus dapat diperbanyak dan dijual dengan harga yang bersaing dan petani harus memiliki akses pasar terhadap produk yang dihasilkan.

Bioteknologi di Negara Sedang Berkembang
Negara sedang berkembang merupakan pangsa pasar bagi benih yang dihasilkan oleh perusahaan MNCs. Namun demikian hampir tidak ada upaya dari MNCs untuk mengembangkan benih tanaman lokal seperti singkong, ubi jalar, sorgum, kacang koro dan lainnya. Pengembangan komoditas penting di negara sedang berkembang oleh MNCs hanya terbatas pada gandum dan padi. Padi transgenik pertama kali ditanam secara komersial pada tahun 2005 di Iran.  Tanaman transgenik seperti pepaya dan jeruk dikomersialkan dalam skala yang sangat terbatas.
Keterbatasan pengembangan komoditas lokal dengan bioteknologi disebabkan oleh beberapa faktor seperti regulasi yang belum jelas terkait masalah HaKI dan biosafety. Kebanyakan petani memproduksi sendiri benih dari tanaman sebelumnya, lemahnya perlindungan HaKI, pasar untuk produk lokal kecil (terbatas), adanya ekonomi biaya tinggi sehinga membatasi potensi keuntungan bagi MNCs. Oleh karena itu, untuk mendorong pengembangan bioteknologi pada komoditas lokal diperlukan insentif pemerintah, misalnya kepastian akan perlindungan HaKI, kemudahan dalam berinvestasi, dan kemudahan untuk pengujian lapangan produk transgenik.

Tantangan ke Depan
Banyak investasi telah dilakukan pada riset bioteknologi pertanian. Penerapan aplikatif terhadap hasil-hasil riset tersebut membutuhkan identifikasi lebih banyak gen dan pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi ekspresi gen tersebut.  Genomic dan teknik biotek lainnya memiliki dua kesenjangan, yaitu :
1.    Meningkatkan pemahaman mengenai karakter fenotipik tertentu dari suatu tanaman dengan genomik
2.    Mekanisme penerapan informasi genomic untuk memperbaiki karakter fenotipik suatu tanaman
Tantangan ke depan adalah bagaimana mengkombinasikan secara efektif berbagai pendekatan genomic yang berbeda dan mengintegrasikan informasi yang diperoleh untuk memaksimalkan upaya perbaikan (varietas) tanaman.  Peluang untuk memeningkatkan laju perbaikan tanaman tergantung pada empat isyu, yaitu :
1.    Kompleksitas dari sistem genotipe target dan lingkungan
2.    Ketersediaan sumberdaya genetik (plasma nutfah) untuk program pemuliaan tanaman
3.    Kejelasan tujuan pemuliaan tanaman dan kapasitas strategi pemuliaan tanaman yang di adopsi untuk mencapai modifikasi genetik yang diperlukan dan strategi seleksi
4.    Kapasitas sumberdaya (peralatan, SDM) untuk mengimplementasikan, mengevaluasi dan mengelola strategi yang dibutuhkan untuk pemuliaan tanaman.
Selain itu diperlukan juga regulasi pada tingkat internasional yang disepakati oleh banyak negara terkait dengan pelestarian keragaman hayati, keamanan hayati (biosafety), perlindungan HaKI, dan perdagangan produk bioteknologi. Berbagai informasi yang seimbang perlu disebarkan ke masyarakat dalam rangka membentuk opini yang positif terhadap produk transgenik. Masyarakat perlu dibuktikan bahwa teknologi yang digunakan dapat memuaskan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
 **Disarikan dari Biotechnology in Agriculture oleh Robert W. Herdt


Tidak ada komentar:

Posting Komentar